Monday, February 04, 2013

Cara Gampang Cari Uang

Tiap tahun, persisnya menjelang Lebaran, para petinggi di negeri bernama de-ka-i sibuk mewanti-wanti rakyatnya.


Katanya Sih Ini Bagian Program Diet Kelapa
“Duhai rakyatku, pergilah kalian dengan tenang ke kampung halaman sana. Nikmatilah kecerian setahun sekali itu bersama sama keluarga dan handai tolan. Pupuslah rindu redam kalian *loh kok jadi puisi?* Tapi tolong, tolong, sekali lagi tolooooong, jangan bawa pulang ke de-ka-i  calon warga baru, meski dia adalah sanak saudara, pun dia handai tolan, atau siapapun yang akan mejejali negeri yang sudah penuh sesak ini.”

Begitu kira-kira.
Apakah si rakyat mendengar?
Tidak. Pastilah tidak. Sebab, tetap saja pendatang bermunculan di negeri de-ka-i
Tidak. Pastilah tidak. Sebab, semua wanti-wanti itu kan sifatnya himbauan, bukan  titah wal hukum yang dikuatkan lewat sebentuk undang-undang *yang toh undang-undang pun sering diabaikan, duhhh*

Well, begitulah, si negeri de-ka-i makin gemuk saja, dengan lahan yang cuma segitu-gitunya.
Dan sayah lantas punya sebuah dongeng mengenai mengapa si de-ka-i menjadi semakin gemuk dari hari ke hari, karena menurut sayah salah satunya karena di de-ka-i ini cari duit itu ternyata gampang. Gampaaaang banget.

Ih, maca ciiiih? Cyuuuus? Miapah?
Miayam
Mibaso
Mitektek
Miso-soup
Mikrolet
Minimarket

Tuh… itu sajah sudah menunjukkan betapa banyaknya lahan pencarian bakat eh duit di Jakarta.
Nah, kemudian sayah kembali ke kampong sayah di salah satu pojok belantara Jakarta. Ini bukan fiksi, saya memang tinggal di sebuah tempat bernama aseli Kampung Pela dan rumah saya benar-benar berada di pojokan alias mentog.

Di ujung jalan, ada beberapa bapak suka duduk leyeh-leyeh, ngobrol ngalor ngidul, kadang sambil ngebul baik itu akibat kopi panas ataupun rokok lalu pulang mengantongi duit. Itulah para pengojek. Dalam sebuah wawancara singkat dengan seorang  isteri pengojek, dia mengaku minimal sang suami membawa uang 50 ribu rupiah dalam 12 jam waktu operasi, dari jam 6 pagi sampai jam 6 petang. Dipotong bensin hari itu plus rokok *geram sayah sebenarnya, hare geneh masih merokok aje, hih* maka dia membawa bersih sekitar 30 ribu rupiah per hari.

Sementara sang isteri lebih perkasa dari suaminya ternyata, darimana saya tahu? Karena dia punya jadwal ketat dalam berkarir dengan rincian; pagi cuci gosok di rumah A, siang di rumah B dan malamnya dia sediakan waktu untuk merangkai mote-mote di pinggiran kerudung pesanan satu konveksi.

Di RT yang berbeda ada dua penjualan makanan keliling. Tidak pakai sepeda, tidak juga gerobak. Andalannya kekuatan bahu, tangan dan sesekali kepala. Dagangan yang dijajakan pun spesifik. Yang satu gorengan. Yang satu aneka buburan, eh bubur dan kolak tepatnya.

Ibu gorengan hanya menjual gorengan, tempe, tahu, bakwan, ubi, pisang dan sesekali comro atau misro. Dagangannya hanya digendong di pinggang, sesekali diletakkan di kepala.

Mbak bubur *karena orangnya lebih muda* hanya menjual variasi bubur dan kolak, yaitu bubur sumsum, kacang hijau, ketan hitam, biji salak dan kolak *kadang ubi plus pisang, kadang ubi plus singkong*. Bakul dagangannya yang berisi panci di-ais pakai kain jarit *yang untuk menggendong bayi itu loh*sementara tangannya memegang keranjang berisi bubur yang sudah diikat-ikat dalam plastik.

Jam kerja mereka pendek saja. Ibu gorengan hanya beredar usai magrib sampai jam 21. Mbak bubur keluar dari rumah jam 3an dan pulang magrib. Keduanya bekerja hanya sekitar 3 jam.  Bu gorengan mengaku menjajakan gorengan sekitar 100 potong sehari dan Mbak bubur menghabiskan 4 panci sedang  bubur dan kolak.

Sedikit di belokan RT sayah ada rumah tetangga yang punya usaha sederhana. Jual lauk matang. Hanya ditaruh di meja dan etalase kecil di teras rumah, tapi dagangannya ini ternyata laris manis. Sebab, yang dijual beraneka macam masakan rumahan dan rasa masakannya enak sesuai judul masakannya. Kalau sayur lodeh ya rasa lodeh. Sop rasa sop. Balado ikan rasa balado. Dan semur ya rasa semur. Ih, emangnya ada masakan yang beda rasa dengan judulnya? Sayangnya ada.  Dan sayah pernah ketemu warung makan yang makanannya beda-beda tapi rasanya semua searah. Kurang sip gitulah.

Di ujung gang sayah tinggal juga ada tukang teh poci, yang digawangi sepasang suami isteri muda yang baru punya bayi usia 3 bulanan. Usaha mereka? Ya itu tadi dagang teh poci. Mereka berdagang dari semenjak baru menikah dan menjaga gerobak teh pocinya bergantian. Dalam sehari, kata si isteri mereka menghabiskan 3 kali ganti drum teh *apa itu nama aslinya? Pokoknya tempat simpan itu si teh poci yang sudah dilarutkan dengan air panas* dan satu the bisa menjadi kira2 seratus gelas teh poci.

Di ujung jalan sedikit lebih jauh, kira2 lima menit jalan kaki, sayah punya tempat langganan beli air kelapa. Yang jual anak muda, yang sayah ikuti perkembangan jualannya *deuh, gaya* dari mulai buka usaha kelapa muda sampai sudah menjadi dua tahun usaha. Jualanannya konsisten, kelapa muda *kadang sedikit tua juga sih*.  Dari dia sendirian sampai sekarang sayah lihat dia punya dua asisten yang sayangnya masih sering salah menentukan mana kelapa yang muda dan remaja.

Begitulah, itu gambaran singkatnya. Sebab, kalau keliling di er-we sayah saja, gak kehitung beraneka usaha yang digelar para warga. Yang jualan susu kedele, gado-gado, ketupat sayur, ikan hias,  tambal ban, dll. Itu belum termasuk skala “serius” yang membutuhkan sewa tempat dan modal lebih besar seperti pangkas rambut, salon, warnet, cuci motor, mie ayam, mie bakso, fotokopi, dan toko pakaian.

Di depan sekolah-sekolah  usaha rakyat de-ka-i malah lebih unik, sebab sayah lihat sendiri betapa dagangan di depan beberapa SD meliputi: mainan produk si abang misalnya kincir angin dari bekas gelas mineral, gambaran yaitu sebentuk gambar seperti cinderella, thomas, upin-ipin yang tanpa warna dan bahkan kadang gambarnya pun asal saja yang dijual supaya anak2 bisa mewarnainya, lalu ada juga penjual anak ayam wal  anak bebek wal burung *kadang hewan2 ini sudah diwarnai jadi merah, hijau, kuning mengenaskan*, lalu penjual kadal *dibawanya pakai botol air galon*, ada pula jasa sewa gamewatch,hingga penjual mimpi karena anak-anak membayar sekian rupiah membeli permen yang disebut “berhadiah”. Kadang ada hadiahnya, dan tentu lebih sering tidak berhadiah.

Semua yang sayah sebut itu baru yang ada di sekitaran rumah sayah loh ya. Belum kalau bicara di lingkup yang lebih jauh. Di terminal misalnya. Kita bisa ketemu jasa semir sepatu, jasa tukar uang receh, penjual tisu dan permen *hanya itu, lain tidak* sampai tukang pijat refleksi.

Aneka usaha tadi, sebutlah jual kadal dan jasa cuci gosok rasanya agak sulit dibayangkan terjadi di Haur Lawang kampung mertua sayah atau di Kelok Tigo dekat kampung ayah sayah. Selain kadal itu bisa dicari di belakang rumah dan gak perlu beli, orang-orang cenderung mencuci gosok sendiri pakaian rumah tangganya.

Jadi sepertinya menurut sayah ujung-ujungnya semua ini salah si bos pemerentah de-ka-i nya sendiri *paling enak loh nyalahin pemerentah, masak  iya nyalahin diri sendiri, hihi. Minta maap sebelomnya ya pemerentah. Ampun, namanya juga dongeng.* Sebab segala pusat kekuasaan, pusat ekonomi, pusat budaya, pusat kemegahan, pusat kenyamanan dan pusat kekomplitan bersemayam penuh di lingkaran si de-ka-I sendiri.

Selama negeri-negeri lain di luar si negeri de-ka-i masih belum juga dibuat banyak fasilitasnya, nyaman, indah dan bikin betah warganya, mereka masih akan terus mencari-cari negeri lain yang bisa bikin betah.
Dan si negeri de-ka-i apa boleh buat masih menjadi magnet bagi banyak orang yang ingin mengadu nasib alias ingin cari duit.  Harapannya awalnya mungkin ingin bisa jadi pegawai “kantoran” atau menjadi pengusaha sukses yang beromset miliaran. Tetapi kalaupun belum terlaksana, orang-orang ini akan terus bertahan semampu mereka dengan ya itu tadi, bisa menjadi pemijit kaki atau menjual anak ayam warna-warni.

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More