Tiap tahun,
persisnya menjelang Lebaran, para petinggi di negeri bernama de-ka-i sibuk
mewanti-wanti rakyatnya.
![]() |
Katanya Sih Ini Bagian Program Diet Kelapa |
“Duhai
rakyatku, pergilah kalian dengan tenang ke kampung halaman sana. Nikmatilah
kecerian setahun sekali itu bersama sama keluarga dan handai tolan. Pupuslah
rindu redam kalian *loh kok jadi puisi?* Tapi tolong, tolong, sekali lagi tolooooong, jangan bawa pulang ke de-ka-i
calon warga baru, meski dia adalah sanak
saudara, pun dia handai tolan, atau siapapun yang akan mejejali negeri yang
sudah penuh sesak ini.”
Begitu
kira-kira.
Apakah si
rakyat mendengar?
Tidak.
Pastilah tidak. Sebab, tetap saja pendatang bermunculan di negeri de-ka-i
Tidak.
Pastilah tidak. Sebab, semua wanti-wanti itu kan sifatnya himbauan, bukan titah wal hukum yang dikuatkan lewat sebentuk
undang-undang *yang toh undang-undang pun sering diabaikan, duhhh*
Well,
begitulah, si negeri de-ka-i makin gemuk saja, dengan lahan yang cuma
segitu-gitunya.
Dan sayah lantas
punya sebuah dongeng mengenai mengapa si de-ka-i menjadi semakin gemuk dari
hari ke hari, karena menurut sayah salah satunya karena di de-ka-i ini cari
duit itu ternyata gampang. Gampaaaang banget.
Ih, maca ciiiih? Cyuuuus? Miapah?
Miayam
Mibaso
Mitektek
Miso-soup
Mikrolet
Minimarket
Tuh… itu sajah sudah menunjukkan betapa banyaknya lahan pencarian bakat
eh duit di Jakarta.
Nah,
kemudian sayah kembali ke kampong sayah di salah satu pojok belantara Jakarta.
Ini bukan fiksi, saya memang tinggal di sebuah tempat bernama aseli Kampung
Pela dan rumah saya benar-benar berada di pojokan alias mentog.
Di ujung
jalan, ada beberapa bapak suka duduk leyeh-leyeh, ngobrol ngalor ngidul, kadang
sambil ngebul baik itu akibat kopi panas ataupun rokok lalu pulang mengantongi
duit. Itulah para pengojek. Dalam sebuah wawancara singkat dengan seorang isteri pengojek, dia mengaku minimal sang
suami membawa uang 50 ribu rupiah dalam 12 jam waktu operasi, dari jam 6 pagi
sampai jam 6 petang. Dipotong bensin hari itu plus rokok *geram sayah
sebenarnya, hare geneh masih merokok aje, hih* maka dia membawa bersih sekitar
30 ribu rupiah per hari.
Sementara
sang isteri lebih perkasa dari suaminya ternyata, darimana saya tahu? Karena dia
punya jadwal ketat dalam berkarir dengan rincian; pagi cuci gosok di rumah A,
siang di rumah B dan malamnya dia sediakan waktu untuk merangkai mote-mote di
pinggiran kerudung pesanan satu konveksi.
Di RT yang
berbeda ada dua penjualan makanan keliling. Tidak pakai sepeda, tidak juga
gerobak. Andalannya kekuatan bahu, tangan dan sesekali kepala. Dagangan yang
dijajakan pun spesifik. Yang satu gorengan. Yang satu aneka buburan, eh bubur
dan kolak tepatnya.
Ibu gorengan
hanya menjual gorengan, tempe, tahu, bakwan, ubi, pisang dan sesekali comro
atau misro. Dagangannya hanya digendong di pinggang, sesekali diletakkan di
kepala.
Mbak bubur
*karena orangnya lebih muda* hanya menjual variasi bubur dan kolak, yaitu bubur
sumsum, kacang hijau, ketan hitam, biji salak dan kolak *kadang ubi plus
pisang, kadang ubi plus singkong*. Bakul dagangannya yang berisi panci di-ais
pakai kain jarit *yang untuk menggendong bayi itu loh*sementara tangannya
memegang keranjang berisi bubur yang sudah diikat-ikat dalam plastik.
Jam kerja
mereka pendek saja. Ibu gorengan hanya beredar usai magrib sampai jam 21. Mbak
bubur keluar dari rumah jam 3an dan pulang magrib. Keduanya bekerja hanya
sekitar 3 jam. Bu gorengan mengaku
menjajakan gorengan sekitar 100 potong sehari dan Mbak bubur menghabiskan 4
panci sedang bubur dan kolak.
Sedikit di
belokan RT sayah ada rumah tetangga yang punya usaha sederhana. Jual lauk
matang. Hanya ditaruh di meja dan etalase kecil di teras rumah, tapi dagangannya
ini ternyata laris manis. Sebab, yang dijual beraneka macam masakan rumahan dan
rasa masakannya enak sesuai judul masakannya. Kalau sayur lodeh ya rasa lodeh.
Sop rasa sop. Balado ikan rasa balado. Dan semur ya rasa semur. Ih, emangnya
ada masakan yang beda rasa dengan judulnya? Sayangnya ada. Dan sayah pernah ketemu warung makan yang
makanannya beda-beda tapi rasanya semua searah. Kurang sip gitulah.
Di ujung
gang sayah tinggal juga ada tukang teh poci, yang digawangi sepasang suami
isteri muda yang baru punya bayi usia 3 bulanan. Usaha mereka? Ya itu tadi
dagang teh poci. Mereka berdagang dari semenjak baru menikah dan menjaga
gerobak teh pocinya bergantian. Dalam sehari, kata si isteri mereka
menghabiskan 3 kali ganti drum teh *apa itu nama aslinya? Pokoknya tempat
simpan itu si teh poci yang sudah dilarutkan dengan air panas* dan satu the bisa
menjadi kira2 seratus gelas teh poci.
Di ujung
jalan sedikit lebih jauh, kira2 lima menit jalan kaki, sayah punya tempat
langganan beli air kelapa. Yang jual anak muda, yang sayah ikuti perkembangan
jualannya *deuh, gaya* dari mulai buka usaha kelapa muda sampai sudah menjadi
dua tahun usaha. Jualanannya konsisten, kelapa muda *kadang sedikit tua juga
sih*. Dari dia sendirian sampai sekarang
sayah lihat dia punya dua asisten yang sayangnya masih sering salah menentukan
mana kelapa yang muda dan remaja.
Begitulah,
itu gambaran singkatnya. Sebab, kalau keliling di er-we sayah saja, gak
kehitung beraneka usaha yang digelar para warga. Yang jualan susu kedele,
gado-gado, ketupat sayur, ikan hias, tambal ban, dll. Itu belum termasuk skala “serius”
yang membutuhkan sewa tempat dan modal lebih besar seperti pangkas rambut,
salon, warnet, cuci motor, mie ayam, mie bakso, fotokopi, dan toko pakaian.
Di depan sekolah-sekolah
usaha rakyat de-ka-i malah lebih unik,
sebab sayah lihat sendiri betapa dagangan di depan beberapa SD meliputi: mainan
produk si abang misalnya kincir angin dari bekas gelas mineral, gambaran yaitu
sebentuk gambar seperti cinderella, thomas, upin-ipin yang tanpa warna dan
bahkan kadang gambarnya pun asal saja yang dijual supaya anak2 bisa
mewarnainya, lalu ada juga penjual anak ayam wal anak bebek wal burung *kadang hewan2 ini sudah
diwarnai jadi merah, hijau, kuning mengenaskan*, lalu penjual kadal *dibawanya
pakai botol air galon*, ada pula jasa sewa gamewatch,hingga penjual mimpi
karena anak-anak membayar sekian rupiah membeli permen yang disebut “berhadiah”.
Kadang ada hadiahnya, dan tentu lebih sering tidak berhadiah.
Semua yang
sayah sebut itu baru yang ada di sekitaran rumah sayah loh ya. Belum kalau
bicara di lingkup yang lebih jauh. Di terminal misalnya. Kita bisa ketemu jasa
semir sepatu, jasa tukar uang receh, penjual tisu dan permen *hanya itu, lain
tidak* sampai tukang pijat refleksi.
Aneka usaha
tadi, sebutlah jual kadal dan jasa cuci gosok rasanya agak sulit dibayangkan
terjadi di Haur Lawang kampung mertua sayah atau di Kelok Tigo dekat kampung
ayah sayah. Selain kadal itu bisa dicari di belakang rumah dan gak perlu beli,
orang-orang cenderung mencuci gosok sendiri pakaian rumah tangganya.
Jadi
sepertinya menurut sayah ujung-ujungnya semua ini salah si bos pemerentah
de-ka-i nya sendiri *paling enak loh nyalahin pemerentah, masak iya nyalahin diri sendiri, hihi. Minta maap
sebelomnya ya pemerentah. Ampun, namanya juga dongeng.* Sebab segala pusat
kekuasaan, pusat ekonomi, pusat budaya, pusat kemegahan, pusat kenyamanan dan
pusat kekomplitan bersemayam penuh di lingkaran si de-ka-I sendiri.
Selama negeri-negeri lain di luar si negeri de-ka-i masih
belum juga dibuat banyak fasilitasnya, nyaman, indah dan bikin betah warganya,
mereka masih akan terus mencari-cari negeri lain yang bisa bikin betah.
Dan si negeri
de-ka-i apa boleh buat masih menjadi magnet bagi banyak orang yang ingin
mengadu nasib alias ingin cari duit.
Harapannya awalnya mungkin ingin bisa jadi pegawai “kantoran” atau menjadi
pengusaha sukses yang beromset miliaran. Tetapi kalaupun belum terlaksana,
orang-orang ini akan terus bertahan semampu mereka dengan ya itu tadi, bisa
menjadi pemijit kaki atau menjual anak ayam warna-warni.
0 comments:
Post a Comment