Tidak terasa sudah lebih 7 tahun mengajar kelas menulis yang dinamakan kelas "writing club" di SDIT Al-Hikmah. Rasanya sih baru kemarin gitu, diminta mengajar anak-anak "piyik" nan lucu dan imut itu. Tapi ketika kemarin ini bertemu salah seorang murid yang tahu-tahu sudah jadi anak SMA, waduuuh baru nyadar kalau sudah tua eh maksudnya sudah lama juga menjadi guru :D
Meski gak mudah mengajar di level SD ini *hmmm...nanti deh saya buat posting tersendiri soal ini* tapi jelas lebih banyak senangnya. Betapa senangnya melihat antusias murid-murid kecil ini dalam belajar. Dan betapa terhiburnya hati ini dengan beragam ekspresi yang mereka sampaikan.
Oh ya, soal ekspresi ini, adalah hal yang mungkin sudah jadi "icon" di kelas writing club. Anak-anak sudah hafal betul dengan beberapa kata mendasar di kelas menulis ini, diantaranya: ekspresi, detil, dan berani.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSbeHcfqPGK74wxAORGY21jEG2S2nRcTNqFkVa5U9ZC_TbXEV6qKs06LAeePQTJDcXUclRdMjP0lLKlSfU5zzs6XFzqmX17rPqfxZHNbN0NL6_8aAI5rzeCvO1szsBcpkY8bYBxw/s320/Kelebihan+saya.jpg)
Maka, tulisan menyon-menyon, tanpa tata bahasa, bahkan tanpa keindahan imaji *wow, bahasanya* tetap bisa memperoleh nilai baik. Sebab, ekspresi diri mereka yang bisa dipindahkan dalam bentuk tulisan saja sudah sangat saya hargai.
Kenapa?
Karena seiring waktu mengajar, saya mendapati, permasalahan mendasar dari anak-anak kita agaknya bahwa mereka rata-rata tak mampu mengekspresikan apa yang mereka rasakan, mereka tahu, mereka khayalkan dan mereka yakini.
Mungkin ini karena faktor pembiasaan. Mungkin juga karena masalah budaya. Dimana orang Indonesia katanya cenderung tidak ekspresif dan malu-malu dalam mengungkapkan pemikiran pun perasaan mereka. Atau mungkin juga karena pengalaman mengajarkan anak-anak betapa mengekspresikan diri ternyata kerapkali tidak menguntungkan secara sosial. Misalnya karena diejek (ingat bagaimana kalau kita mengacungkan jari untuk menjawab, teman-teman spontan akan berteriak cieeeeeeeee atau bahkan wuuuuuuuuu yang sontak membuat nyali menjadi ciut)
Itulah sebabnya, di awal-awal mengajar, saya tidak membicarakan bagaimana menulis cerita, pendapat atau bahkan sekedar "pengalamanku di waktu libur". Saya hanya meminta mereka mengekspresikan diri mereka dengan menyebutkan soal diri mereka. Apa yang mereka suka, yang mereka tak suka, kelebihan diri mereka, juga hal-hal yang berkenaan dengan perkenalan diri.
Dari sini saja saya sudah bisa melihat betapa masih banyak anak yang gamang dengan soal apa yang saya suka dan apa kelebihan diri saya. (mereka sangat banyaaak bertanya tentang ini). Dan pada akhirnya saya juga kerap sering tersenyum membaca hasil tulisan mereka.
Saya berharap, dimulai dari mereka mampu mengekspresikan diri, kemudian memindahkan pengetahuan, perasaan, khayalan, keyakinan mereka akan sesuatu dalam bentuk tulisan, mereka mampu mengenali diri mereka, membuka wawasan mereka, memupuk kepercayaan diri dan hup, akhirnya juga mampu menulis.
2 comments:
saya kelebihan berat badan.
saya kelebihan tidur.
hohohoo..
saya kelebihan kakak kekurangan adik...
-G-
Post a Comment