Ini
berawal dari sebuah keprihatinan. Sepulang sekolah pada hari Kamis (tapi entah
kapan, saya ingat hanya Kamisnya saja) anak saya yang bersekolah siang tiba di
rumah di waktu Isya. Sambil melepas
lelah, anak saya melihat tayangan televisi. Tak lama dia bercerita bahwa yang
dilihatnya tadi acara bernama On The Spot. Lupa-lupa ingat sepertinya saya
pernah sekali menonton acara ini yang menayangkan 7 Pulau Buatan Ter---- entah
terbesar atau termewah atau terbaik atau apalah, lupa juga.
Sayangnya
episode yang ditonton anak saya tidak seindah itu, mengerikan malah, karena
menyajikan episode 7 Remaja Pembunuh Tersadis. Ya, anda tidak salah baca, dan
karena itu saya yakin anda sepakat ketika saya memilih kata ‘mengerikan’.
Anak
saya mau menceritakannya satu demi satu, tetapi baru satu bagian –saya tidak
tega menceritakannya kembali- saya sudah bilang, “STOP, jangan lanjutkan. Mama
ngeri mendengarnya, ayo kita sama-sama mengucapkan naudzubillahi min dzalik” Saya dan kedua anak remaja saja
merapalkan doa itu. Dan saya menambahkan doa yang secara khusus saya tujukan
pada anak-anak saya agar terhindar dari fitnah, maksiat dan marabahaya.
Jantung
saya langsung berdebar-debar keras, karena kata remaja saja dikaitkan dengan
kata pembunuh sepertinya sudah keterlaluan tidak matchingnya apalagi ditambah dengan kata sadis, makin membuat perut
ini terasa melilit. Mungkin terutama karena saya punya anak remaja, sehingga setiap
hal yang berkait dengan keanehan-keanehan perilaku remaja membuat saya semakin
mudah mengkerut jiwa.
Saya
tak suka diceritakan soal tayangan itu. Menakutkan dan tidak memberi kelegaan
di tengah hidup yan terasa semakin sulit –dengan masalah korupsi, lingkungan
rusak, sedot pulsa, macet parah, ancaman banjir, aaaarrrrrgghhhh…..
Dua
jam kemudian di hari Kamis yang sama, suami yang sedang membuka halaman detik dotcom
terkejut dengan satu berita dan menuturkan pada saya. Berita itu membuat suami
saya prihatin dan saya kembali merasa mengkerut jiwa. Diberitakan seorang
remaja lelaki usia 16 tahun, pelajar SMK, menebas dengan clurit seorang remaja putri hingga akhirnya remaja putri
itu tewas dalam perjalanan ke rumah sakit (kalau mau cek beritanya, ubek saja sendiri detik dotcomnya ya)
Ketika
ditangkap, sang remaja penebas itu mengaku
salah sasaran karena sebenarnya dia bermaksud menebas remaja lelaki yang
sedang memboncengkan si korban. Dia menyebut bahwa sang remaja lelaki yang dia
incar adalah musuh bebuyutan sekolahnya.
Maka
malam itu saya lewatkan dengan perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam
dada dan kepala. Saya merasa seperti mau menangis, saya mau marah, saya ingin
berteriak dan sekaligus saya ingin memeluk anak-anak saya erat-erat. Ya Allah,
ada apa dengan anak-anak kami, remaja-remaja kami di Indonesia… mereka yang
pastilah dibuai sepenuh cinta di kala bayinya dan diharap-harap menjadi penerus
terbaik para orangtuanya kok nyatanya tumbuh menjadi “monster-monster” yang
menakutkan…
Berkaca
pada kasus penebasan tadi, entah si pelaku salah sasaran atau tepat sasaran,
bukan itu persoalannya. Tapi bahwa sang anak sekolah bawa-bawa clurit – ya, dia
menebas dengan clurit- yang sudah
disiapkan. Bahwa dia sudah mengincar sesosok remaja lain –manusia dengan
ruh, jiwa dan raga- milik Allah. Bahwa dia mengatakan si incaran adalah berasal
dari sekolah musuhnya. Bahwa tidak peduli siapa dan ada urusan apa, kalau itu
anak sekolah X maka itu musuh gue karena sekolah X musuh sekolah gue. Sekolah
punya musuh?
Naudzubillah, tsumma
naudzubillah….
Saya
jadi flashback, dan terpaksa memutar
ingatan yang tadinya ingin coba dilupakan –setidaknya tidak sering-sering
diingat. Tahun 2010 lalu keponakan saya masuk SMA favorit. Yang sedihnya juga dikenal
sering terlibat tawuran. Tapi kakak saya berprasangka baik. Bahwa itu masa
lalu. Dan menambah prasangka baik bahwa “setiap tahun toh anak didik berganti,
masa iya musuhan lagi, sekarang sudah lebih baik dong, kan anak-anaknya sudah
ganti”
Dan
kemudian dia menambah lagi prasangka baik bahwa insyaAllah anaknya tidak akan
ikut tawuran karena sudah dibekali segala upaya seperti penjelasan, pengertian,
pemahaman, nasihat, doa-doa dan bekal sekolah dasar dan menengah yang baik.
Maka
keponakan yang menghabiskan masa SD di SD Islam Terpadu, masa SMP di Pesantren
Terpadu, dan lulus dengan 8 juz hafalan quran ini memulai SMAnya di SMA Negeri
favorit ini. Mulanya baik-baik saja sampai satu ketika dia menelepon bahwa dia
ada di rumah sakit.
Hah?
Kecelakaan? Bukan. Dia mengantar temannya yang sakit. Sakit karena kepalanya
ditimpuk batu.
Ya.
Teman keponakan itu sedang berjongkok menanti bus untuk pulang sekolah ketika
serombongan siswa –begitulah, banyak kejadian melibatkan “serombongan”,
“sekumpulan”, apapun yang berujung keroyokan- datang dan kemudian salah seorang
dari mereka menimpukkan batu yang lebih besar dari kepalan tangan, ke kepala si
teman keponakan.
Innalillahi wa inna
ilaihi rojiun.
Ya,
teman ponakan ini tergeletak dan dan karena banyak orang datang segerombolan
anak-anak penimpuk itu lari. Keponakan saya yang masih ada di sekitar situ
datang menolong dan setelah mengontak beberapa teman membawa sang korban yang akhirnya
ketahuan mengalami gegar otak dan sempat koma beberapa waktu lamanya- ke rumah
sakit. Sedihnya, mereka sempat ditolak rumah sakit swasta terdekat karena
mereka tidak bawa uang –ya saudara-saudara, mereka harus bayar uang 400 ribu
sebelum si korban yang sudah pingsan begitu ditangani-
Beberapa
hari kemudian, tepatnya 15 Juni tahun lalu, kali ini sang keponakan yang pulang
dengan kepala, dada dan punggung luka-luka. Berdarah-darah. Di kepalanya bahkan
ada luka menganga sepuluh senti panjangnya.
Innalillahi wa inna
ilaihi rojiuuuun.
Ada apa? Ikut tawuran?
Tidak,
sampai detik ini alhamdulillah dia tidak pernah ikut tawuran. –seperti tawuran
itu lomba balap karung atau panjat pinang saja!-
Tapi
yang ada, ketika dia menuju terminal bus –dan dia memang pulang sendirian-
serombongan siswa yang tidak jelas siapa -kenal saja tidak, apalagi sempat
punya masalah- mendatanginya dan mengeroyoknya begitu saja. Begitu saja. Keponakan
saya hanya bisa menunduk terjongkok, menerima hantaman bertubi-tubi menderanya.
Sampai orang-orang termasuk pak polisi datang menolong. Dimana kejadian itu?
Kejadian itu berlangsung di siang hari, dan persis di depan terminal yang ramai
dan bahkan tak jauh dari pos polisi-
Mereka
yang menolong ya hanya menolong sang keponakan. Alhamdulillah ‘ala kulli haal,
meski si penyerang yang kabur berpencaran entah kemana tak ada satupun yang
tertangkap. Pak polisi pun hanya berkata bahwa anak-anak yang menyerang itu
dari sekolah X, yang suka berantem dengan sekolah keponakan saya. Pak polisi
ini lantas meminta keponakan saya untuk segera pulang, jangan mampir-mampir
dulu.
Keponakan
saya tentu saja pulang. Mau kemana lagi dengan punggung berdarah-darah dan luka
menganga di kepala? Rumah sakit bukan pilihannya saat sendiri itu. Dia hanya
terpikir: rumah. dia pakai jaket warna
gelap, sehingga barulah ketika di rumah dan meneliti lekat-lekat kita bisa
melihat jelas luka-luka di punggung, dada dan di kepalanya yang sudah
mengering.
Jiwa
kakak saya mengkerut. Saya juga, padahal hanya diceritakan. Sempat kami akan
lapor polisi. Tapi lha, kan siang itu
juga si anak bahkan sudah dari pos polisi. Yang menolong juga polisi. Kami lantas
hanya jadi geram-geram bingung plus resah, kira-kira begitulah.
Ketika
esoknya kakak saya mendatangi sekolah dan menceritakan kejadiannya, jawaban
yang didapat dari gurunya membuat terpana, karena dikatakan: Wah…anak ibu
dipukulin ya? Tapi nggak apa-apa kan? Si Fulan –dia menyebut nama salah satu
teman lain si keponakan- malah dibacok kemarin Bu…jadi kita memang harus
hati-hati Bu, pulang pergi sekolah diantar saja. Malah anak-anak yang baik-baik
dan pendiam tuh yang memang suka kena… #terhibur? Jelas tidak!
Sahabat,
saya menuliskan ini dengan hati pedih, marah juga nelangsa.
Yang
kita bicarakan ini anak-anak kita. Yang pada pundak merekalah nanti dipikulkan
beban masa depan. Ketika anak-anak ini menjadi “monster” di usia muda, betapa
mengerikannya wajah masa depan bangsa kita. Atau ketika anak-anak lainnya
berhadapan dengan para “monster”, juga sama
mengerikannya masa depan bangsa kita –dan bahkan masa depan anak-anak korban
“monster” itu sendiri-
Tapi
saya masih percaya kalau semua anak itu pada dasarnya baik. Orangtua –dan
lingkunganlah- yang membuat mereka jadi nakal, brutal, rusak, atau jadi
“monster”. Lingkungan bermain, lingkungan sekolah, lingkungan media, lingkungan
birokrasi, lingkungan umum lainnya.
Mungkin
mereka dibesarkan dengan ketidakpedulian orangtua, kemiskinan cinta, kemiskinan
penghargaan, kemiskinan sentuhkan kasih sayang, galaknya guru, mudah marahnya
orangtua, persaingan keras tanpa kesantunan para pedagang, caci maki di
televisi, baku hantam di komik, sentimen berbalur umpatan kebencian antar
organisasi –sepakbola misalnya- ketidakjujuran birokrasi dan banyak lagi dan
sering lagi
Ah,
apapun, saya hanya ingin menjeritkan kata hati saya sebagai ibu, bahwa
anak-anak kita dalam bahaya dan harus ditolong. Baik yang sedang dizalimi
maupun yang sedang menzalimi. Sebagaimana Rasulullah pun berkata, “tolonglah
saudaramu, baik yang terzalimi maupun yang menzalimi.”
Yang
terzalimi ditolong agar selamat dari kezaliman. Yang menzalimi harus ditolong
agar berhenti dari kezalimannya.
Anak-anak
kita tidak bisa dibiarkan terus hidup dalam ketakutan dan “kesakitan”. Kita
perlu orang-orangtua peduli yang mau bahu membahu menyelamatkan mereka.
Mungkin
kita sudah berupaya menyelamatkan anak kita, tapi itu tidak cukup. Kita juga
perlu peduli menyelamatkan anak-anak orang lain, yang akhirnya juga akan
berimbas pada selamatnya anak-anak kita.
Kita
harus memperbaiki diri kita, lingkungan kita, tetapi juga harus saling
menolong. Saling mengingatkan. Saling berhubungan. Mungkin membangun komunitas
orangtua yang bisa saling memberi informasi, saling menguatkan, dan saling
menjaga anak-anak kita.
Di
sekolah, komite sekolah baru diisi segelintir orangtua murid sebagai perwakilan.
Mungkin sudah saatnya perlu ada pertemuan rutin orangtua pertiga bulan
misalnya, untuk saling kenal, saling sapa, saling tukar informasi.
Komunitas
orangtua ini pun perlu pula beranjangsana, setidaknya bertukar informasi, salam
dan sapa dengan komunitas orangtua lain dari lain tempat, lain sekolah, atau
lain wilayah.
Kalau
dengan fesbuk saja kita bisa punya sekian ribu kenalan berbeda-beda, para
orangtua remaja pun semestinya bisa kan saling berpadu mendidik anak
bersama-bersama.
Atau
ada ide lainnya? Yang jelas, anak-anak ini sesungguhnya tengah berteriak minta
tolong. Tinggal bagaimana caranya kita bisa menjawab permintaan mereka. Sebelum
semakin banyak kisah ngeri lain akan kita dengar menjadi berita…