Subhanallah... seperti baru kemarin menikah, tahu-tahu sudah lewat 17 tahun ajah. hehehe. Gitu deh, bulan lalu, sudah genap 17 tahun saya menikah. Tuh yang dipajang itu fotonya. Kalau lihat foto ini jadi senyum sendiri, soalnya kok ya di foto itu, kelihatan banget masih pada imut, kuyus dan apa ya .... jadul banget. hehe
Tapi di satu sisi senang juga melihat betapa sederhananya pernikahan masa lalu. Mulai dari urusan prosesnya sampai acara pestanya sampai dandanannya.
Proses dari lamaran sampai pernikahan, alhamdulillah Allah beri kemudahan. Lamarannya, mmm..... mmmmm.... waduh kok lupa persisnya ya, tapi bulannya sekitaran Juni-Juli deh. Whewwww ... gak merasa penting untuk ingat kapan tepatnya sih, hehehe
Lalu keputusan untuk dapat tanggal 28 September, itu sudah berdasarkan hitung-hitungan para tetua tentang hari baik bulan baik loh. Eeeeiiiits, jangan salah, ini sama sekali gak ada urusan mistik-mistikan wal primbon-primbonan. tetapi murni mencari kebaikan sajah.
Ceritanya, nikah sudah dibulatkan tekad (jaman itu masih jaman soeharto, soal kebulatan tekad masih ngetop loh) akan dilakukan di rumah. Dan tilik punya tilik, pikir punya pikir serta hitung punya hitung, supaya rumah layak untuk dipakai hajatan, setidaknya perlu dibenahi lah sedikit di sana sini. Nah, Rencana pembenahan pleus itung2an bagaimana supaya dana bisa lancar untuk menanggung si benah-benah plus nikah inilah yang akhirnya memunculkan bilangan tanggal keramat itu, 28-September-1996
Semua urusan proses plus pernak-pernik menyiapkan pernikahan praktis "hanya" dikerjakan oleh saya dengan dukungan ibu, bapak dan kakak kedua alias niot. Ya wajarlah, niel kan jauh di Bandung. si Gita masih kecil *gak kecil-kecil amat sih tapi dianggap kecil aja dah*
Mom dan Pop tentu sibuk urusan cari duit, merencanakan pesta dan benah rumah. Niot bantuin bikin undangan. Saya sendiri? ya sibuk sama urusan nyiapin keperluan printil buat hari-H nya. Misalnya nih ya, urusan baju pengantin buat akad dan resepsi saya urus sendiri. Mulai dari merancang model gaun *serius nih, haha, semua hasil saya rancang sendiri dengan ambil inspirasi dari majalah-majalah*, belanja bahan ke Tanabang sampe ngejaitin tu gaun ke tukang jait.
Oh ya, sprei, sarban, sargul, gorden jendela dan gorden pintu juga saya yang beli bahannya dan bawa ke tukang jait untuk dibuatkan.
Urusan pinjem dekorasi dinding juga saya lakukan sendiri dengan jauh-jauh pergi ke Kampung Melayu sana. Sekarang sih udah lupa deh persisnya dimana tu tempat. Yang jelas ada satu orang yang berjasa banget bantuin semua urusan ngoprek rencana pernikahan ini yaitu sohib saya Yesi Maryam, yang waktu itu masih kuliah di Ilmu Politik. Dia itu deh tu yang bantu segala urusan nata meja, ngatur kepanitiaan sampe nganter minjem dekorasi.
Di hari pernikahan pun boro-boro ada barisan panitia berbaju seragam plus pager bagus dan pager ayu yang berbaris rapi terima tamu. Lah wong saya sebage sang penganten sajah gak ada acara riasan apapun, kecuali seulas tipis bedak. Buktinya bisa dilihat deh di fotonya kan... hahahaha
Tapi dulu ya kayak gitu sih senang saja, hepi saja, bukan juga jadi sedih wal muram durja. karena bagaimanapun rasanya menikah waktu itu lebih banyak terasa semangat jihadnya daripada semangat pestanya deh *weeewwwww, ihik...*
Sehingga acara pernikahan pun terasa tetap khidmat meski ada anak meraung-raung minta sedotan bengkok di tengah kekhusyukan pesta. Ah, soal ini mudah2an bisa dilanjutkan dalam cerita pernikahn berikutnya saja. Sebab, ala kulli haal, saat ini saya merasa sangat bersyukur. Sudah melampaui masa 17 tahun pernikahan, memiliki 3 anak yang solih, solihat, lucu, keren, menyenangkan, dan kehidupan keluarga kami sampai saat ini terasa terus membahagiakan.
Nah, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
0 comments:
Post a Comment